Muallaf Jerman Kemilau Anugerah Termahal

Kemilau Anugerah Termahal

Usai salam akhir Shalat Isya, masih saya amati paras jamaah lainnya, yang malam itu benar-benar membuat masjid komunitas Palestina itu benar-benar hidup. Wajah-wajah kegembiraan menyambut datangnya bulan keagungan. Semuanya sumringah luar biasa.

Lintasan mata saya terfokus kepada seorang makmum di deretan depan saya. Penampilannya rapih luar biasa. Berpakaian ghamis putih, dan berpeci putih. Dan yang lebih berkesan adalah warna kulit dan guratan rambutnya yang memastikan saya untuk berpendapat ia seorang muslim Jerman.

Siapakah dia?

Jelang waktu sholat Maghrib. Pemuda itu terlihat eksentrik dari yang lainnya. Di kala makmum yang lainnya berassesoris peci, pemuda itu justru terlihat bangga dengan anting dan beberapa kalung yang melingkar di lehernya. Celana Jeans belel dan sehelai kaos putih berlambangkan sebuah produk ternama milik negara Paman Sam pun menyelimuti tubuhnya. Gayanya sangat up to date dan funky.

Seakan tersihir, masih saja saya amati gerak gerik pemuda itu. Lebih-lebih perhatian saya memuncak ketika dia „mencoba“ sholat sunnah. Punggung dan kedua kakinya terlihat sulit untuk rukuk dan duduk di antara dua sujud. Jari-jari kakinya tidak bersahabat untuk terlipat dengan sempurna. Apakah dia seorang muallaf?

Saya penasaran untuk mencari jawabnya. Setelah keluar dari masjid, langsung saya tanya Muhammad -seorang kawan berkebangsaan Arab- perihal itu. Dan dengan lantang Muhammad meng-iya-kan tanya saya. Bahkan Muhammad langsung mengenalkan saya kepada pemuda itu,

„Hallo Daniel, hier ist ein Student von Indonesien. Der will mit dir kennen lernen,“

[Hallo Daniel, ini ada mahasiswa Indonesia yang ingin berkenalan dengan kamu,]

„Hai, Ich bin Daniel.“ [Hai, saya Daniel] Sapanya ramah, sambil menjulurkan kedua tangannya.

„Assalaamualaykum Daniel. Ich bin Sultan. Freut mich, dich kennen zu lernen,“

[Assalaamualaykum Daniel. Saya Sultan. Senang bisa berkenalan denganmu,]

Dia hanya tersenyum ringan. Tak ada jawab atas salam saya. Yang membuat saya berkesimpulan dia memang benar-benar seorang Muallaf baru. Lantunan tasbih sempat mewarnai kekaguman saya. Bukan hanya karena keramahannya, tapi karena dia telah dianugerahi anugerah yang termahal, Hidayah.

Sejak saat itu, setiap kali saya sempatkan untuk sholat berjamaah di Masjid itu, wajah Daniel tidak pernah absen dari pandangan saya. Tidak hanya kalung dan anting yang telah alpa dari tubuhnya, Perubahan-perubahan yang terjadi di dirinya sungguh membuat saya terkagum-kagum.

Senja itu. Setelah shalat Ashar di kampus, saya sempatkan untuk menuju ke masjid komunitas Palestina itu. Jaket yang biasa saya pakai, tertinggal di sana.

Ketika pintu masjid telah terbuka, tidak ada seorang pun yang menjawab salam saya. Dalam hati saya bergumam, „pasti tidak ada orang,“ dengan ringan saya jelajahi ruang depan masjid. Jaket merah itu masih tergantung di sana, dan segera saya ambil. Namun, sebelum anjak meninggalkan masjid saya ingin sebentar menuju ke kamar kecil. Ruangan tersebut telah terang.

Suara siraman air dan gesekan sikat membuat saya berkesimpulan, ada seseorang yang sedang membersihkan kamar mandi. Usai wudhu, saya sempatkan untuk menyapa orang itu. Dan saya terkejut luar biasa. „Waalaykumussalaam“,Daniel yang menjawab salam itu sembari memegang sikat! MasyaAlloh…

Lalu…

Saat saya masuk ke koridor masjid, umumnya, saya tegur setiap orang yang berdiri di sekitar koridor dengan salam dan pertanyaan kabar. Hampir semuanya mengerti, bahwa saya sangat terbatas dalam berbahasa Arab. Sehingga mereka akan menjawab pertanyaan saya dengan bahasa Jerman. Malam itu, sapaan saya juga tertuju kepada Pemuda itu,

„Assalaamualaykum, Daniel,““

„Waalaykumusalaam, Sultan,“

„Kheif Khalak?“, lanjut tanyanya.

„Alhamdulillah, mir gut. Und dir?“ [Alhamdulillah, saya baik. Dan kamu?] sambung saya dengan bahasa Jerman.

„Alhamdulillah, bi khoir“

Saya tertegun. MasyaAlloh dia sangat bangga dan lantang menjawab dengan bahasa Arab. Bara semangatnya memecut saya untuk berusaha lebih tahu. Hingga akhirnya dengan „lancang“ saya tanyakan kepadanya. Daniel, kamu terlihat sangat tertarik sekali dengan bahasa Arab, sedangkan saya justru sangat tertarik untuk berkomunikasi dengan bahasa Jerman.

Dengan serius ia menjelaskan. Saya ingin seperti Bruder-bruder yang lain, yang setiap selesai shalat berjamaah bisa mengerti ceramah yang dibawakan oleh imam masjid. Saya sangat malu, karena biasanya saya hanya memandang imam tanpa makna. Tak sepatah kata pun yang saya mengerti. Paling, hanya ucapan salam pembuka, dan salam penutup. Sungguh, saya ingin sekali kelak mengerti pesan-pesan yang imam sampaikan.

Mendengar kata-kata bersemangat itu saya semakin melihat sinaran mutiara di wajahnya. Benar-benar Azzam yang luar biasa.

Dia melanjutkan, Saya ingin kelak seperti Bruder Ayat, yang sudah hampir hafal Al-Quran. Setiap kali shalat, ayat-ayat yang dipakainya selalu berbeda. Walau saya baru memeluk islam, sungguh, sangat berat sekali bagi saya untuk mencoba menghafal surat-surat pendek di Al-quran. Itu membuat saya cukup malu. Semoga kelak dengan bahasa Arab, saya tidak hanya punya bacaan shalat, tapi juga mengerti apa yang saya lafalkan.

Untaian kalimat itu, lagi-lagi, membuat saya terkesima. Dan teringat sebuah sms yang masuk 5 bulan yang lalu, dari Dietrich, seorang kawan Jerman yang juga baru masuk Islam. Sebuah kalimat dengan tiga tanda seru di belakangnya,- Bruder, saya sudah hafal Al-falaq!!!-

Sudah dua puluh tahun lebih saya hidup di lingkungan keluarga islam. Namun ketika satu per satu ayat-ayat Al-Quran mengisi memori kepala saya, rasa-rasanya tidak pernah saya merasa terharu yang sangat, layaknya kegembiraan Daniel dan Dietrich.

Setelah dengan sempurna shalat sunnah ba´da Isya. Dengan hangatnya pemuda itu tersenyum, dan menyalami makmum di sampingnya.

Pemuda berghamis dan berpeci putih itu adalah Daniel Ibrahim. Muallaf yang baru mengenal islam dalam tempo tiga bulan. Sungguh, ia tidak hanya berubah, namun telah ia berkilau.

Sedangkan kita?

Ya Robbi, Ihdinassirotol mustaqiim…

Darmstadt, 6 Ramadhan 1427

——————————-

Bruder : Saudara laki-laki. Dalam kaitan ini bermakna saudara seiman.

*

IslamIsLogic.wordpress.com

Pos ini dipublikasikan di Muallaf Non-Indonesia. Tandai permalink.

4 Balasan ke Muallaf Jerman Kemilau Anugerah Termahal

  1. radhiyah berkata:

    Subhanallah…….. Sekiranya saya berkesempatan ke Darmstadt. Saya ingin sekali bertemu dengan muallaf2 jerman. Subhanallah………

  2. tidar berkata:

    KEBENARAN CEPAT ATAU LAMBAT AKAN TERKUAK DAN KEBATILAN AKAN LENYAP. MARI KITA SAMA2 MENUNGGU , DUNIA MASIH BERPUTAR.

  3. Ahmad A berkata:

    kata-kata terbaik dan benar-benar menusk jiwa dari cerita di atas :-
    ….Bukan hanya karena keramahannya, tapi karena dia telah dianugerahi anugerah yang termahal, Hidayah.

  4. abdul hannan tibyan berkata:

    saya sangat tertarik dengan banyaknya muallaf di negara-negara barat, sehingga membuat pendidikan yang mencetak kader-kader yang mampu memahami Al-qur’an dan kitab berbahasa arab (kitab kuning) dengan bahasa inggris, semoga juga bisa dengan bahasa jerman… siapa tau nantinya bisa ikut membantu saudara-saudara kita di jerman.

Tinggalkan Balasan ke Ahmad A Batalkan balasan